Lazada Indonesia

Pesona Alam Cianjur

Kabupaten Cianjur, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya terletak di kecamatan Cianjur. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta di utara, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Sukabumi di barat

Mesjid Agung Cianjur

Mesjid Agung Cianjur yang megah terletak di pusat Kota Cianjur yang dibangun pertama kali tahun 1810 M. oleh penduduk Cianjur yang tidak tercatat namanya. Dibangun di atas tanah wakaf Ny. Raden Bodedar binti Kangjeng Dalem Sabiruddin, Bupati Cianjur ke - 4.

Situs Gunung Padang

Situs Gunungpadang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.

Makam Dalem Cikundul

makam tempat dimakamkannya Bupati Cianjur Pertama, R. Aria Wira Tanu Bin Aria Wangsa Goparana (1677 - 1691) yang kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul.

STASIUN CIANJUR

Stasiun Cianjur (CJ) merupakan stasiun kereta api yang terletak di Jl. Yulius Usman, Sayang, Cianjur, Cianjur yang berada di pusat Kabupaten Cianjur. Stasiun yang terletak pada ketinggian +438,756 m ini berada di Daerah Operasi II Bandung. Stasiun Cianjur berada di km 95+775 dan menjadi stasiun dengan kepadatan penumpang terbanyak di Jalur Cianjur

Wednesday, June 12, 2013

Download Music Rock - Deep Purple, Sang Rock Legend

Deep Purple
Download Music Rock - Deep Purple, Sang Rock Legend. Deep Purple merupakan salah satu band rock terbaik yang pernah ada dalam sejarah musik dunia. Bagaimana sejarahnya ?


Bersama Led Zeppelin dan Black Sabbath, oleh sejumlah kalangan dan pencinta musik rock Deep Purple dianggap sebagai pionir heavy metal. Cikal bakal Deep Purple sendiri tidak terlepas dari sang tokoh legendaris multi talentanya, John Lord, yang merupakan komposer dan pencipta lagu di hampir seluruh lagu hitsnya. John Lord sebelumnya bermain untuk The Flowerpot Man bersama rekan pemusik lainnya, Chris Curtis, dan seorang pengusaha yang mencoba menjadi produser musik, Tony Edwards. Sejak bergabungnya Ritchie Blackmore pada 1967, terbentuklah sebuah band legendaris pada tahun 1968 yang kelak mengalahkan popularitas Led Zeppelin.
John Lord
Motor Deep Purple, John Lord (1941 - 2012 )


Gonta-ganti Formasi Dan "Mark"

Deep Purple dianggap sebagai rock legend unik yang paling sering bongkar-pasang formasi.  Bayangkan, sejak dibentuk tahun 1968, grup asal Inggris ini tak kurang telah delapan kali bongkar pasang line up mereka. Bahkan, untuk menandai kekhususannya, cara membuat formasi itu diberi nama “Mark”.  Maka jadilah, Deep Purple versi formasi Mark I hingga saat ini, Mark VIII.
Deep Purple
Deep Purple Formasi 1968

Setiap Mark, tentu punya kisah dan cerita tersendiri. Setiap Mark memiliki sukses sendiri. Namun, hanya satu yang tak berubah dari Deep Purple. Sejak dulu, hingga sekarang, mereka tetap mendapat julukan sebagai pionir heavy metal atau hard rock modern, bersama Led Zeppelin, dan Black Sabbath.


Ya, mulai Mark I, yang menghasilkan tiga album: Shades of Deep Purple, The Book of Taliesyn (1968), dan Deep Purple (1969), hingga Mark VIII yang terakhir mengeluarkan album Rapture of Deep Purple pada tahun 2005, yang merupakan album ke-18 mereka, Deep Purple tetap selalu mendapat tempat di hati pencintanya.
 

Dari total delapan Mark ini, ada satu komposisi klasik, yang sampai tiga kali terbentuk, hingga disebut Mark IIa, IIb, dan IIc . Formasi ini terdiri dari  Ian Gillan (vokal), Ritchie Blackmore (gitar), Roger Glover  (bass), Ian Paice (drum), dan Jon Lord  (kibor).

Lewat komposisi ini, Deep Purple berhasil merilis delapan dari total 18 album studio mereka. Lagu-lagu yang dihasilkan line up ini juga begitu melegenda. Sebut saja  “Hush”, “Child in Time”, Soldier of Fortune”,”Highway Star”, “Burn”, “Strange Kind of Woman”, “Black Night”, dan banyak lagi. Lewat komposisi ini pulalah Deep Purple menjulang setinggi langit melalui masterpiece mereka, “Smoke on The Water” di album Machine Head tahun 1972.


Ritchie Blackmore, Gitaris Legendaris

Deep Purple menggunakan unsur psychedelia dan classical dalam musik gaya bar-band mereka. Cara membuat dunia terkagum-kagum dengan musik mereka adalah adanya perpaduan konsep musik klasik dengan rock. Mereka memikat dunia dengan album berpengaruh Deep Purple in Rock, yang dipandang sebagai pelopor hard rock progresif. Dan di Fireball, mereka meningkatkan volume dan dengan Machine Head, mereka menaklukan dunia hard rock dan menantang Led Zeppelin dalam hal popularitas.


Blacmore
Richie Blackmore - Sang Gitarist Legendaris Deep Purple



Pada bulan Desember 1967, Curtis merekrut Ritchie Blackmore yang ketika itu sedang mengadu nasib di Jerman bersama Neil Christian And The Crusaders.

Sebelum di Jerman, Blackmore pernah bergabung dengan The Outlaws dan Screaming Lord Sutch And The Savages. Lagu “The Address” dan “Mandrake Root” ditulis pada pertemuan pertama Blackmore dan Lord. Tak lama kemudian bergabung pula rekan pemetik bas Lord di The Flowerpot Man, Nick Simper. Untuk mengisi posisi vokalis serta penabuh drum, Lord dan Blackmore merekrut Rod Evans dan Ian Paice. Setelah sempat menamakan diri sebagai Roundabout, bulan Maret 1968 mereka resmi menjadi Deep Purple.

Sebelum memutuskan nama Deep Purple Nama nama lain yang sempat di usulkan sebagai nama band adalah “Orpheus“, “Concrete God“, juga nama “Sugarlump“. Pada suatu pagi, Ritchie mengusulkan nama “Deep Purple” karena itu nama lagu favorit neneknya, yang cukup populer pada tahun 1920-an dan menjadi hit kelompok Nino Tempo And April Steven tahun 1963.

Komposisi awal Deep Purple tahun 1968 adalah Ritchie Blackmore pada gitar, Jon Lord pada organ Hammond, Rod Evans pada vokal, Nick Simper pada bass dan Ian Paice pada drum. Band meraih kesuksesan besar dengan men-cover "Hush" dari Joe South, yang muncul dalam album debut Shades of Deep Purple. Band mendapat pesanan untuk mendukung Cream dalam Goodbye Tour, namun segera diberhentikan karena mendapatkan sambutan luar biasa yang mengancam band utama. Tahun 1969, dua album sukses dirilis yakni The Book of Taliesyn dan Deep Purple, yang terdapat beberapa track yang diiringi symphony orchestra.



Setelah tiga album dan tur intensif di AS, tahun 1969, Simper dan Evans didepak secara tiba-tiba oleh Blackmore, Lord, dan Paice. Ritchie keluar-masuk pub untuk mencari pengganti. Akhirnya, dia terkesan dengan dua personel Episode Six, Ian Gillan serta Roger Glover.  Ian Gillan menggantikan Rod Evans dan Roger Glover menggantikan Nick Simper. Pergantian ini membentukan line-up Deep Purple yang paling beresensi. Begitu dibentuk, line-up baru ini membuat album live monumental Concerto for Group and Orchestra, komposisi tiga bagian yang ditulis Jon Lord dan dimainkan bersama London Philharmonic Orchestra di Royal Albert Hall. Bersama Five Bridges dari The Nice, Concerto tergolong kolaborasi awal antara band rock dengan orkestra.



Setelah album orkestra, Deep Purple membuat album berpengaruh, Deep Purple in Rock, yang dianggap sebagai musik hard rock progressive. Setelah itu mereka rilis Fireball dan Machine Head, album terkenal yang membawakan mereka ke puncak ketenaran dunia. Beberapa bulan kemudian, rekaman konser 2 pertunjukan mereka di Osaka dirilis dengan judul Made in Japan, sebuah album ganda live yang merupakan salah satu album live terbaik hingga hari ini. Line-up klasik ini juga menghasilkan Who Do We Think We Are, album yang menampilkan hit “Woman from Tokyo”.



Dengan ketenaran luar biasa yang dicapai, ketidak cocokan pun terjadi. Ian Gillan dan Roger Glover berpisah dengan Deep Purple dan posisi mereka diganti penyanyi baru David Coverdale dan bassist/vokalis Glenn Hughes dari Trapeze. Line-up ini membuahkan album heavy blues rock Burn, salah satu album tersukses Deep Purple. Hughes dan Coverdale menambahkan elemen R&B/soul kedalam musik band yang sangat terasa dalam album berikutnya Stormbringer. Ritchie Blackmore tidak menyukai sound ini dan meninggalkan Deep Purple untuk membentukkan Rainbow.



Dengan kepergian Blackmore, Deep Purple membuka lowongan besar yang kemudian diisi Tommy Bolin, gitaris Amerika yang sudah pernah bergabung dengan Zephyr, James Gang dan Billy Cobham. Penggabungan Bolin kelihatan ideal, akan tetapi album terbitan tahun 1975, Come Taste the Band, gagal. Album ini tidak disukai peggemar lama dan tidak sanggup menarik penggemar baru, dikarenakan sound yang agak jauh dari sound orisinil Deep Purple. Bolin ternyata belum siap mengisi sepatu besar Blackmore sehingga mendapatkan ejekan dari audiens dalam beberapa pertunjukan yang permainannya tidak stabil. Kecanduan dirinya atas heroin juga memperparah keadaan dan setelah tur traumatis Come Taste the Band, band bubar. Tidak lama setelah itu, Tommy Bolin meninggal dunia akibat overdosis heroin dalam perjalanan tur mendukung Jeff Beck.



Selanjutnya, beberapa anggota Deep Purple cukup berhasil dalam karir pribadi melalui band masing-masing antara lain Rainbow, Whitesnake dan Gillan. Sementara itu, sering ada upaya promotor untuk membentukkan kembali Deep Purple, terutama dengan kembalinya pasar hard rock pada dekade 1980an.



Deep Purple resmi dibentuk kembali pada April 1984. Pernyataan pembentukan kembali dilontarkan The Friday Rock Show BBC, bahwa line-up klasik awal 70an yang terdiri dari Blackmore, Gillan, Glover, Lord dan Paice telah dibentuk kembali dan mulai merekam materi baru. Band menandatangani kontrak dengan Polydor di Eropa dan Mercury di Amerika. Oktober 1984, Perfect Stranger dirilis dan didukung tur dari New Zealand sampai ke Eropa. Tur berjalan sukses dan sewaktu kembali ke Inggris, mereka bermain satu malam di Knebworth dengan dukungan Scorpions didepan 80.000 audiens.



Tahun 1987, line-up ini kembali membuat album The House of Blue Light dan mengadakan tur meskipun penjualan agak menurun. Beberapa show direkam untuk album live Nobody’s Perfect tahun 1988. Dan ditahun yang sama di UK, mereka rilis versi baru “Hush” untuk merayakan 20 tahun terbentuknya Deep Purple. Tahun 1989, Ian Gillan dipecat akibat ketidakakuran dengan Ritchie Blackmore dan posisinya diganti bekas vokalis Rainbow, Joe Lynn Turner. Line-up ini menghasilkan album Slaves and Masters dan sebuah tur.



Namun setelah tur, Turner dipecat dari band berhubung Jon Lord, Ian Paice dan Roger Glover menginginkan Ian Gillan kembali. Blackmore mengalah dan line-up klasik ini dibentuk kembali dan membuat The Battle Rages On pada tahun 1993. Selama tur Eropa musim gugur 1993 yang sukses, ketegangan antara Gillan dan Blackmore kembali muncul dan kali ini Blackmore yang hengkang. Band mengajak Joe Satriani untuk memenuhi show Desember di Jepang. Satriani bergabung hingga tur Eropa 1994 selesai dan sewaktu diajak untuk menetap di Deep Purple, dia menolak karena ingin meneruskan karir solo. Band kemudian mendapatkan Steve Morse, gitaris Dixie Dregs, untuk menjadi pengganti Blackmore yang permanen.


Deep Purple Lebih Modern Bersama Steve Morse

Line-up ini menikmati kesuksesan selama dekade 1990-an dan menghasilkan album yang disambut hangat kritikus yakni Purpendicular (1996) dan Abandon (1998). Di album debutnya bersama Deep Purple, Purpendicular, yang dirilis tahun 1996, Morse yang pernah bergabung dengan Dixie Regs dan Kansas, langsung membuktikan kapasitasnya sebagai gitaris andal. Terasa sekali, musik rock-baca heavy metal– ala Deep Purple jadi lebih modern, saat kita mendengar lagu “Somebody Stole My Guitar”. Kocokan gitar Morse seperti menjadi asyik untuk dititi oleh range vokal Gillan yang begitu lebar. Hadirnya Steve Morse dianggap sangat memiliki manfaat dalam hal perubahan dan modernisasi rock Deep Purple.
Steve Morse
Steve Morse, Modernisasi Rock Deep Purple


Sementara di lagu jagoan “Vavoom, Ted The Mechanic”, Morse berhasil memasukkan teknik-teknik gitaran rock modern ala gitaris shredder alias gitaris yang mengandalkan kecepatan tangan. Sungguh, mendengar lagu ini, bukan seperti Deep Purple, seolah tengah mendengar aksi Nuno Bettencourt, yang terkenal dengan permaianan kecepatan jemari di atas dawai gitar.

Di album terakhir Deep Purple, Rapture of Deep Purple, yang dirilis tahun 2005, Morse makin membuktikan kapasitasnya untuk bisa larut dengan musik Deep Purple. Di album ini pula, Airey semakin mengentalkan permainannya di musik Deep Purple. Tidak seperti di album debutnya, Bananas, di tahun 2003, di album Rapture of Deep Purple, Airey memberikan sentuhan khusus “Clearly Quite Absurd lewat permainan kibornya.

Namun, terlepas dari itu semua, bagaimana pun Morse dan Airey patut mendapat apresiasi khusus akan kontribusinya “menyelamatkan” hidup Deep Purple. Terutama Morse, yang sejak awal kedatangannya, sebenarnya sempat memancing keraguan para penggemar.

“Saya tahu, saya memang akan selalu menjadi ‘anak baru’ di band ini,” ujar Morse, yang kerap dianggap kalah garang, dari Blackmore, saat membawakan lagu-lagu seperti “Smoke on The Water”, “Woman from Tokyo” ataupun “Highway Star”, di panggung. “Tapi, sebenarnya, saya telah bergabung dengan band ini jauh lebih lama dari yang orang pikir.”

Eksistensi Hingga Saat Ini

Tahun 1999, Jon Lord, dengan bantuan seorang penggemar, menciptakan kembali Concerto for Group and Orchestra dan diselenggarakan kembali di Royal Albert Hall pada September 1999 dengan The London Symphony Orchestra. Konser mencakup karya dari karir solo setiap anggota maupun Deep Purple dan direkam dalam album In Concert with the London Symphony Orchestra tahun 2000. Beberapa tahun seterusnya, band menghabiskan waktu dalam perjalanan tur yang tiada hentinya hingga tahun 2002, sewaktu anggota pendiri Jon Lord (Jon Lord dan Ian Paice merupakan dua anggota yang menetap disetiap inkarnasi Deep Purple) menyatakan pengunduran diri dari Deep Purple untuk menjalankan proyek orkes pribadinya. Keyboardist veteran Don Airey, eks Rainbow dan Whitesnake, yang pernah membantu Deep Purple sewaktu Lord terluka tahun 2001, diajak bergabung. Tahun berikutnya, Deep Purple rilis album studio pertama dalam lima tahun terakhir, Bananas, dan mengadakan tur. Oktober 2005, 37 tahun setelah pembentukan Deep Purple, mereka rilis sebuah album yang progressive dan eksperimental, Rapture of the Deep, yang dianggap sebagai album terkuat sejak Purpendicular. Peluncuran album diikuti tur dunia.


Meskipun sering diasosiasikan dengan heavy metal, Deep Purple tidak pernah merasa diri sebagai band heavy metal. Akan tetapi, banyak band heavy metal menyatakan dipengaruhi Deep Purple. Deep Purple sering mengganti line-up dan merubah gaya main, namun kecanggihan permainan dengan line-up pemain handal tetap dipertahankan. Beberapa inkarnasi Deep Purple memberikan aspek jazz dan classical ke musik rock gaya mereka dengan menggunakan lagu sebagai sarana untuk memperpanjang solo instrumental.
 

(dari berbagai sumber)

Friday, June 7, 2013

Berita Bola - Sandro Mazzola, The Legend Dari Milan

legenda bola inter milan
Berita Bola | Sandro Mazzola, The Legend Dari Milan - Panasnya sepakbola Italia tercermin dari duel sekota Milan, AC Milan dan Inter Milan (FC Internazionale), klub sang maskot Sandro Mazzola.


Lahir di Turin (Italia), namun besar menjadi bintang di Inter Milan. Alessandro Mazzola lebih memilih menjadi pemain Inter ketimbang harus meneruskan kebintangan sang Ayah, Valentino Mazzola, di Torino. Toh, Mazzola harus menerima beban harapan tinggi publik kalau dirinya sehebat ayahnya.

Mazzola harus menjalani hidup sebagai anak yatim sejak umur 6 tahun. Tragedi Superga yang menewaskan 31 orang penumpang dan para pemain Torino - termasuk ayahnya - pada 4 mei 1949 membuat Mazzola menjalani hidup tanpa bimbingan ayahnya. Tiga tahun sebelumnya, Mazzola hanya bisa pasrah saat kedua orang tuanya memilih untuk bercerai. Namun semua pengalaman buruk di masa kecil tak membuatnya putus asa. Bakat sepak bola sudah terlanjur menitis kuat, dia sudah menendang bola saat menemani ayahnya berlatih bersama Torino. Bahkan Mazzola kerap diajak ayahnya saat memperkuat timnas Italia.

Maskot Klub Inter Milan
Seringnya mengikuti kegiatan sang ayah memiliki manfaat bagi Mazzola dan membuat dirinya banyak dikenal para pemain Torino maupun timnas Italia saat itu. Dari sanalah karier sebagai pebola profesional bisa dimulainya. Namun, saat Mazzola pertama kali bergabung dengan Inter justru bukan sebagai pemain, tapi sebagai maskot tim." Aku baru berumur enam tahun saat ayahku meninggal. Suatu hari, Benito Lorenzi (striker Inter yang merupakan partner di timnas dan salah satu sahabat ayahnya) datang ke rumahku. Dia meminta ibuku untuk mengizinkanku pergi ke Milan untuk menjadi maskot tim," kenangnya di fifa.com.

Lanjut Sandro," Giuseppe Meazza yang sangat bersedih akibat tragedi Superga sangat memiliki manfaat yang dapat menolongku dan adikku. Kami berdua lalu mengenakan kostum Inter sebelum pertandingan, berjalan ke lapangan bersama pemain, dan berada di pinggir lapangan sepanjang pertandingan. Meski menjadi maskot, kami juga ikut menerima bonus. Kami diberi 10.000 lira jika Inter menang dan 5.000 lira jika seri. Jumlah uang yang sangat berarti bagi keluargaku saat itu."

Dari seorang maskot, Mazzola kemudian menjadi pemain binaan Inter. Nama besar ayahnya cukup mendukung jalan karier yang diretasnya kala itu. Namun, nama besar ayahnya pula yang sempat membuatnya nyaris mengubur mimpi menjadi pebola andal. Maklum, publik sangat berharap banyak bisa kembali menyaksikan kehebatan Valentino lewat penampilan anaknya. "Sangat berat perjuanganku saat kecil, sebab setiap orang berharap aku punya talenta sehebat ayahku. Tapi aku tidak memiliki kualitas yang sama dengan beliau. Fans kadang membuat komentar negatif tentang aku dan itu jadi beban berat bagiku. Bahkan, saat tekanan yang ada terasa sangat berat, suatu waktu aku pernah memikirkan untuk mundur dari sepak bola," tutur Mazzola.

Ya, dia pernah mencoba mengalihkan kariernya sebagai pemain bola basket. Itu dilakukan kala hatinya gundah akibat tingginya ekspektasi publik terhadap dirinya. "Aku bermain sepak bola dan bola basket selama dua bulan, hanya untuk membuka pikiranku apa yang akan aku jadikan karierku. Akhirnya aku memilih sepak bola, dan ketika aku akan mulai kembali karier sepak bola, aku mendapat dukungan dari orang-orang yang menyukai ayahku," imbuh dia.

Pilihan Mazzola setelah dilanda kebimbangan rupanya sangat tepat. Bahkan mungkin dia berkembang lebih baik dari sang ayah. Selain sama-sama menjadi penyerang, Sandro punya kemampuan lain yang belum sempat ditunjukkan ayahnya. Dia punya daya kreativitas tinggi dalam merancang serangan. Mazzola memang bukan penyerang biasa. Urusan mencetak gol sudah jelas memang itu kemampuan utamanya. Kemampuan yang sempat membuat namanya tercetak sebagai top skorer Serie-A musim 1964-65 dengan 17 gol. Sekaligus memberi scudetto bagi Inter di musim yang sama.

Di luar kemampuan standar sebagai striker, Mazzola dikenal punya umpan akurat plus dribble dan kontrol bola yang mumpuni. Cara membuat pergerakan unik dan kreatif di atas lapangan mampu memberi ruang bagi pemain lain untuk lebih merangsek ke pertahanan lawan. Banyak yang menyebut kemampuan Mazzola saat ini bisa dilihat dalam permainan yang ditunjukkan oleh Francesco Totti dan Alessandro Del Piero.

Kalau untuk era yang sama dengan Mazzola ada nama Gianni Rivera. Kala itu keduanya malah bersaing langsung untuk menjadi playmaker andalan timnas Italia. Keduanga sama-sama menganggap lebih baik dari rivalnya. "Antara aku dengan Rivera lebih dari rivalitas personal," aku Sandro. "Pada 1968, aku dan Rivera bertemu di Milan. Para suporter cukup terkejut saat melihat kami bersama. Di luar itu, aku dan Rivera tidak bisa menjadi teman. Kami saling menghormati satu sama lain. Tapi memang terlalu banyak kompetisi di antara kami."

Rivalitas itu justru jadi salah satu faktor unik yang membuat performa Sandro kian unik dan mengilap. Dia adalah salah satu pahlawan Inter di era 1960-an. Salah satu pahlawan terbesar di masa La Grande Inter. Sosok pahlawan yang setia hingga mundur dari sepak bola.

Karir Timnas Italia Belum Pernah Juara Dunia
Seperti ayahnya, kemampuan Sandro Mazzola pun dihargai dengan kostum timnas Italia. Bahkan, debut Mazzola di Gli Azzuri tergolong muda, 20 tahun. Tepatnya saat Italia bertemu Brasil pada 12 Mei 1963. Sejak saat itu, nama Mazzola tak pernah lepas dari daftar pemain Gli Azzuri, hingga akhir masa tugasnya kelak.

Sepanjang kariernya sebagai pebola, Sandro Mazzola pernah mencicipi tiga Piala Dunia yaitu pada 1966, 1970, dan 1974. Kemampuannya diakui Gli Azzuri selama hampir satu dekade. Sayang, tak sekalipun Sandro mencicipi gelar Piala Dunia. Puncak prestasinya bersama Italia adalah saat meraih juara di Piala Eropa 1968. "Partai yang paling dikenang adalah di semifinal Piala Dunia 1970 melawan Jerman (Italia menang 4-3 lewat perpanjangan waktu. Meski kami punya satu tim hebat, kami tidak cukup percaya diri," sebut Sandro.

Mengagumi Di Stefano
Bagi Sandro Mazzola, tak ada kenangan yang paling indah bersama Inter Milan selain saat meraih trofi Piala Champions pada 1963-64. Apalagi di laga final, Inter mengalahkan Real Madrid 3-1. Dua gol di antaranya adalah sumbangannya. "Real Madrid adalah tim yang hebat kala itu, mereka unggul segalanya. Madrid punya Alfredo Di Stefano, yang bagiku bak seorang raksasa. Sebelum bertanding, aku hanya berdiri di atas lapangan memandangi sosok Di Stefano," kenang Mazzola (baca juga Berita Bola - Alfredo Di Stefano, Legenda Imigran Madrid )

Tepukan Luiz Suarez di bahu Mazzola membangunkan lamunannya. Suarez lalu menyemangati Mazzola untuk tak terlalu takut. Toh, tetap saja di akhir pertandingan Mazzola tak bisa menutupi kekagumannya terhadap Di Stefano. "Usai pertandinan aku berlari ke arah Di Stefano untuk bertukar kaos, tapi Ferenc Puskas menghentikanku. 'Aku pernah bermain melawan ayahmu,' kata Puskas,' kamu telah membuatnya bangga dan aku ingin memberikan kaosku untukmu.' kaos itu kini menjadi koleksiku yang paling bernilai." kata Sandro (baca juga Berita Bola - Ferenc Puskas, The Legend Dari Hungaria).


Biodata Sandro Mazzola
Nama lengkap : Alessandro Mazzola
Lahir : Turin (Italia), 8 November 1942
Posisi : Striker, Playmaker.
Klub : Inter Milan (1960-1977)
Main/Gol : 565/158
Prestasi : Scudetti (1962-63, 1964-65, 1965-66, 1970-71), Piala Champions (1963-64, 1964-65), Piala Interkontinental (1964, 1965), Piala Eropa (1968), top skorer 1964-65 (17 gol).


(sumber : wikipedia)

Berita Bola - Alfredo Di Stefano, Legenda Imigran Madrid

Legenda Bola Piala Champions
Berita Bola | Alfredo Di Stefano, Legenda Imigran Eropa - Alfredo Di Stefano merupakan satu-satunya pemain bola yang pernah membela tiga negara berbeda.


Alfredo Di Stéfano Laulhé lahir 4 juli 1926 di Buenos Aires, Argentina dari keluarga Italia yang berimigrasi ke argentina. Alfredo seorang pesepakbola unik dengan posisi pemain depan yang pernah membela tiga negara : Argentina, kolombia, dan Spanyol karena pada saat itu FIFA belum menetapkan peraturan mengenai seorang pemain sepakbola yang hanya dapat memperkuat satu negara seperti sekarang. Bersama tim Argentina Alfredo sempat membela tim Tango sebanyak 6 kali, bersama Kolombia Ia sempat bermain empat kali, dan bersama Spanyol Alfredo bermain sebanyak 31 kali. Namun Ia tidak pernah sekalipun bermain di putaran final Piala Dunia. Alfredo tercatat sebagai salah satu legenda sepakbola yang tidak pernah tampil di putaran final Piala Dunia.
Alfredo Di Stefano
 

Kiprah Piala Dunia 
Pada penyelengaraan Piala Dunia 1950, Alfredo menolak bergabung membela timnas Argentina. Empat tahun kemudian Argentina tidak ikut berpatisipasi pada ajang Piala Dunia 1954. Pada kesempatan terakhirnya tampil di Piala Dunia bersama Argentina pada tahun 1958, Alfredo telah berganti kewarganegaraan Spanyol. Pada qualifikasi Piala Dunia 1958 ( baca juga Berita Bola - Just Fontane, Legenda Prancis Berdarah Campuran ), Alfredo gagal membawa spanyol lolos ke babak utama. Di kesempatan berikutnya untuk ikut berpartisipasi di Piala Dunia 1962 bersama Spanyol, Alfredo berhasil meloloskan Spanyol ke babak utama. Namun sayang beberapa saat sebelum penyelenggaraan Alfredo dibekap cidera, yang membuatnya harus istirahat hingga penyelenggaraan Piala Dunia 1962 usai. 

Karir Panjang Sang Imigran
Alfredo meniti karir sepakbola profesionalnya bersama River Plate di usia 17 tahun (1943). Bermain bersama River Plate Ia sempat menorehkan tinta emas dengan menjadi juara Primera Division (1945, 1947), top skor (1947), dan menempatkan River di posisi Runner-Up kejuaraan South American Club Championship (1948). Pada tahun 1949 Alfredo hijrah ke klub Kolombia, Millonarios. Selama empat tahun di Kolombia, Alfredo membawa klub Millonarios menjadi juara Colombian Championship selama empat tahun berturut-turut(1949-1953) (baca juga karir Lev Yashin di Berita Bola - Lev Yashin, The Legend Dari Uni Soviet)

Prestasi unik di Kolombia mengundang Real Madrid untuk membeli Alfredo. Bersama Real Madrid Alfredo mencapai pencapaian puncak karir nya. Berpartner dengan Ferenc Puskas (baca juga Berita Bola - Ferenc Puskas, The Legend Dari Hungaria ),  Ia menghantarkan Real Madrid menjadi Raja Eropa dengan menjuarai Europan Cup lima kali berturut-turut (1955/1956, 1956/1957, 1957/1958, 1958/1959, dan 1959/1960). Sayang, cara membuat gol dengan insting ketajaman luar biasa serta kekuatan yang baik tidak dapat membantu Real Madrid juara tahun 1964 karena di final kalah oleh Inter Milan yang kala itu diperkuat Sandro Mazzola, sang playmaker legendaris (baca juga Berita Bola - Sandro Mazzola, The Legend Dari Milan). Setelah mencetak 216 gol dari 282 penampilanya selama sebelas tahun bersama Real Madrid Alfredo pindah ke Espanyol selama dua tahun sebelum pensiun pada tahun 1966.

Kiprah dan Prestasi Di Stefano sebagai pemain :
Timnas Argentina
  • Copa America : 1947
Club
  • Argentina Primera Division : 1945 , 1947 (River Plate)
  • Runner-Up South America Championship : 1948 (River Plate)
  • Colombian Championship : 1949, 1951,1952 (Millonarios)
  • Copa Colombia : 1953 (Millonarios)
  • Copa Bodas de Oro del Real Madrid : 1952 (Millonarios)
  • Pequena Copa del Munde de Clubs :1953 (Millonarios)
  • Spanish Primera Division : 1954,1955,1957,1958,1961,1962,1963,1964 ( Real Madrid ) 
  • Copa Del Rey : 1962 ( Real Madrid )
  • European Cup : 1955-56,1956-57,1957-58,1958-59, 1959-1960 ( Real Madrid )
  • Intercontinental Cup : 1960 ( Real Madrid )
  • Latin Cup : 1955, 1957 ( Real Madrid )
  • Pequena Copa del Munde de Clubs : 1956 ( Real Madrid )  

Prestasi Individu
  • Argentine League Top Skor  : 1947
  • Colombian League Top Skor :  1951, 1952
  • Pichichi Trophy :1954, 1956, 1957, 1958, 1959
  • Balon D'Or : 1957, 1959
  • European Cup Top Skor : 1958, 1962
  • Spanish Player (Athelete) of the year : 1957, 1958, 1960, 1964
  • FIFA 100


Prestasi 'Alfredo Di Stefano' di Sepakbola sebagai pelatih :
  • Argentine Primera Division : 1969 (Boca Juniors), 1981 (River Plate)
  • Spanish Primera Division : 1971 ( Valencia ),
  • Spanish Runner-Up Primera Division : 1972 ( VAlencia ), 1983, 1984 ( Real Madrid )
  • Runner - Up Copa Del Rey : 1971, 1972 (Valencia), 1983, 1984 (Real Madrid)
  • Runner - Up Copa De La Liga : 1983 ( Real Madrid )
  • European Winners Cup : 1980 ( Valencia )
  • Runner - Up Winners Cup : 1983 ( Real Madrid )
  • Super Copa De espana ( Real Madrid )
  • Segunda Division : 1987 ( Valencia )

    Akhir Perjalanan Panjang Legenda Madrid
    Setelah pensiun Di Stefano, tetap mengabdikan dirinya di dunia sepakbola. Ia menjadi pelatih beberapa tim sepakbola profesional. Saat ini dia duduk sebagai anggota dewan kehormatan Real Madrid FC. Tim-tim yang pernah di asuhnya antara lain :
    • Elche (1967)
    • Boca Juniors (1969 - 1970, 1985 )
    • Valencia ( 1970 - 1974,  1979 -1980, 1986 - 1988 )
    • Sporting CP ( 1974 ) 
    • Rayo Vallecano ( 1975 -1976 )
    • Castellon ( 1976 - 1977 )
    • River Plate ( 1981 - 1982 )
    • Real Madrid ( 1982 - 1984,  1990 - 1991 )

    (sumber : wikpedia)

    Berita Bola - Just Fontaine, Legenda Prancis Berdarah Campuran

    Legenda Piala Dunia
    Berita Bola | Just Fontaine, Legenda Prancis Berdarah Campuran - Aksi Fontaine bersama Prancis akan selamanya dikenang saat berkiprah di Piala Dunia 1958 Swedia. Mengapa ?
    Just Fontaine ternyata bukan asli Prancis. Ibunya Maroko dan ayahnya berdarah Spanyol, artinya sang legenda ini berdarah campuran. Pemain yang dipanggil 'Justo' ini lahir di Marrakech, Maroko tanggal 18 Agustus 193. 

    Menjadi Legenda Piala Dunia 1958
    Penampilan unik pada Piala Dunia 1958 di Swedia menjadikannya legenda, karena cara membuat golnya yang khas dan tajam menjadikannya sebagai satu-satunya pencetak gol terbanyak dalam satu gelaran Piala Dunia sepanjang sejarah Piala Dunia itu sendiri hingga saat ini, yaitu mencetak 13 gol dalam 6 penampilan saat itu.

    Namun Fontaine berada di bawah legenda lain dalam urusan mencetak gol selama keikutsertaan Piala Dunia, yaitu Ronaldo Luiz mencetak 15 gol dalam 4 Piala Dunia, diikuti Gerd Muller dari Jerman ( 14 gol, 2 Piala Dunia ), dan Miroslav Klose juga dari Jerman (14 gol, 3 Piala Dunia). 

    Karir klub


    Fontaine memulai karirnya sebagai pemain amatir bersama klub  USM Casablanca, dimana ia bermain sejak tahun 1950 hingga 1953. Kemudian pada tahun yang sama, salah satu klub yang bermain di Liga Prancis merekrutnya, Nice. Fontain membela Nice selama 3 tahun dengan torehan 44 gol sebelum klub Prancis lainnya merekrutnya, Stade Reims. Di klub barunya Fontain mencapai puncak karirnya, total 165 gol ia cetak dalam 200 pertandingannya membela Stade de Reims. Ia pun sempat merasakan dua kali Juara Liga pada tahun 1958 dan 1960. Sayang Fontaine tidak pernah direkrut klub-klub top Eropa semisal Real Madrid yang diperkuat legenda bola Ferenc Puskas dan Alfredo Di Stefano  yang menjuarai Piala Champions 5 musim berturut-turut ( baca juga Berita Bola - Alfredo Di Stefano, Legenda Imigran Madrid ), atau Inter Milan yang diperkuat oleh Sandro Mazzola saat menjuarai Piala Champions 1964 ( baca juga Berita Bola - Sandro Mazzola, The Legend Dari Milan )





    Bersama Timnas Prancis



    Berasama timnas Prancis, Fontaine melakukan debutnya pada 17 Desember 1953 dengan mencetak Hattrick ke gawang Lexemburg. Selama 7 tahun membela timnas Prancis Fontaine mencetak 30 gol dari 21 penampilannya. Dan penampilannya yang paling diingat tentunya ketika Ia tampil di Piala Dunia 1958. Prancis masa itu menjadi disegani, seperti halnya Hungaria saat masih diperkuat Ferenc Puskas (baca juga Berita Bola - Ferenc Puskas, The Legend Dari Hungaria )

    Akhir Karir
    Just Fontaine mengakhiri karir sebagai pemain sepakbolanya pada usia yang masih relatif muda, 29 tahun setelah pertandingan terakhirnya pada juli 1962 membuat ia cidera parah. Kejadian tersebut membuatnya mengambil keputusan untuk pensiun lebih awal karena masalah kesehatan.

    Setelah pensiun Fontain sempat menangani timnas Prancis pada 1967. Sayang, dua kekalahan pada pertndingan resmi perdanannya membuatnya dari jabatan tersebut       

    Pada Maret 2004 Fontain masuk dalam daftar 125 pemain sepakbola terbaik Dunia yang daftarnya dikeluarkan FIFA



    Biodata Fontain 
    Nama Lengkap      : Just Fontain 
    Tempat / Tgl Lahir : Marrakech, Maroko / 18 Agustus 1933 
    Posisi                     : Striker
    Karir Sepakbola : Casablanca, Maroko (1950-1953), Nice, Prancis (1953-1956, 69 penampilan, 44 gol), Stade Reims (1952-1962, 131 penampilan, 122 gol) 
    Karir Timnas          : Prancis (1953-1960, 21 penampilan, 30 gol)  
    Karir Pelatih          : Prancis (1967), Luchon (1968-1969), Paris Saint German (1973-1976), Toulouse (1978-1979), Maroko (1979-1981)


    (sumber : wikipedia)

    Berita Bola - Lev Yashin, The Legend Dari Uni Soviet

    Berita Sepak Bola Unik
    Berita Bola | Lev Yashin, The Legend - Di era perang dingin, Uni Soviet (kini bernama Rusia) sangat disegani oleh lawan-lawannya, khususnya negara-negara barat.

    Uni Sovyet yang di setiap kostum pertandingannya selalu memakai tulisan unik CCCP milik USSR (negara-negara perserikatan atau persemakmuran yang berada dalam kekuasaan Uni Soviet) ini ternyata bukan hanya dikenal dengan aroganisme militernya, namun juga kekuatan sepakbolanya. Legenda terkenal sepakbola Uni Soviet masa itu adalah Lev Yashin.

    Lev Yashin ternyata bukan seorang gelandang atau penyerang, yang dulu menjadi ikon pemain terbaik setiap tim seperti Ferenc Puskas ( baca juga Berita Bola - Ferenc Puskas, The Legend Dari Hungaria ). Ternyata dia adalah seorang kiper, dan tercatat sebagai kiper terbaik dalam sejarah sepakbola.  

    Yashin yang dilahirkan di Moscow pada 22 Oktober 1929 memiliki tubuh yang atletis, reflek penyelamatan bola yang mengagumkan, ide-ide dan cara membuat penyelamatan yang luar biasa unik yang membuat para penonon berdecak kagum. Yashin pun terpilih sebagai penjaga Gawang terbaik di abad ke 20 oleh IFFHS.


    Kehidupan dan Karir Sepakbola
     
    Yashin terlahir di keluarga pekerja industri. Ketika  usia 12 tahun Perang Dunia ke-II meletus dan memaksanya untuk bekerja di sebuah pabrik militer di Moscow untuk  menyokong dan membantu kegiatan perang Uni Soviet. Di dalam pabrik tersebut Yashin diketahui bergabung di dalam tim sepakbolanya. Pengalamannya di tim sepakbola tersebut memberikan manfaat bagi Lev Yashin karena klub Dynamo Moscow melihat bakatnya dan mengundangnya untuk bergabung di dalam tim junior. Pada tahun 1950 Yashin baru menjalani debutnya di tim senior Dynamo Moscow pada pertandingan persahabatan, namun pada debut tersebut Yashin melakukan blunder ketika gagal menhalau bola hasil sapuan/tendangan kiper lawan yang menendang bola dari daerah permainannya yang langsung meluncur mulus masuk ke gawang Yashin. Sungguh sebuah debut yang mengecewakan baginya. Pada tahun tersebut Yashin hanya tampil sebanyak 2 pertandingan di liga dan tidak membela tim senipr hingga tahun 1953. Selama masa penantiannya untuk dipasang kembali sebagai pemain utama di tim senior Dynamo Moscow, Ia sempat bergabung sebagai kiper di tim Hockey Es Dynamo. Yashin pun sempat membawa tim Hockey Es Dynamo meraih juara pada 1953. Atas prestasinya tersebut akhirnya Ia diberi kesempatan untuk bermain di skuad utama kembali menggantikan peran Alexei ‘Tiger’ Khomich yang juga seorang penjaga gawang utama timnas Uni Soviet yang selama ini menjadi rival sekaligus mentornya. 

    Di masa-masa setelah itu,  karir Yashin terus menanjak bersama Dynamo Moscow hingga mengakhiri karirnya di klub tersebut pada 1971.  Yashin menghantarkan 5 juara dan 6 Runner-Up Liga Uni Soviet, dan 3 kali juara dan 1 kali Runner-Up Piala Uni Soviet. 


    Bersama Timnas Uni Soviet (USSR)


    Pada tahun 1954 Yashin untuk pertama kalinya dipanggil untuk membela timnas Uni Soviet. Bersama timnas Uni Soviet, Yashin tercatat tampil sebanyak 78 kali bagi timnas. Bersama timnas,  Yashin berperan besar mengantarkan Uni Soviet menjuarai Olimpiade musim panas 1956 dan Piala Eropa 1960. Di ajang Piala Dunia Yashin diikutsertakan pada 4 penyelenggaraannya 1958, 1962, 1966, dan 1970. Namun pada PD 1970, Yashin hanya menjadi Kiper ketiga Uni Soviet dan asisten yang memberi masukan kepada pelatih.      

    Pada Piala Dunianya yang pertama tahun 1958, Yashin tampil sangat memukau hingga dihentikan Brasil yang pada saat itu menjadi juara pada babak perempat final dengan skor 2-0. Karena penampilan memukaunya Yashin masuk dalam tim All-Star Piala Dunia 1958 bersama Pele dan Just Fontaine (baca juga Berita Bola - Just Fontaine, Legenda Prancis Berdarah Campuran ). Pada Piala Dunia 1962, Yashin kembali hanya mampu mengantarkan Uni Soviet hingga babak perempat final setelah dikalahkan tuan rumah Chili. Meski telah unggul 4-1 terlebih dahulu atas Chili di babak pertama, namun beberapa kesalahan dan kelengahan di buat Yashin sehingga Uni Soviet kalah. Akibat buruk penampilannya tersebut majalah olahraga L’quipe memprediksikan itu adalah akhir dari karirnya. Namun setahun selepas itu Yashin mementahkan prediksi tersebut dengan memenangkan Ballon d’Or dan membawa Uni Soviet ke penampilan terbaik di Piala Dunia 1966 dengan menduduki posisi ke-4. Yashin tercatat 4 kali tanding tanpa kebobolan dari 12 kali penampilannya di Piala Dunia .


    Sayang karir klub Lev Yashin yang kemilau di liga lokal tidak dipandang oleh klub-klub hebat Eropa saat itu, semisal Real Madrid yang menjuarai Piala Champions 5 kali berturut yang diperkuat Ferenc Puskas dan Alfredo Di Stefano (baca juga Berita Bola - Alfredo Di Stefano, Legenda Imigran Madrid) atau Inter Milan yang juara tahun 1964 saat diperkuat oleh playmaker legendarisnya Sandro Mazzola (baca juga Berita Bola - Sandro Mazzola, The Legend Dari Milan)

    Akhir Karir
    Lev Yashin tercatat sebagai satu-satunya kipper yang pernah meraih gelar European Football Player of The Year (1963) hingga kini. Ia pun di percaya berhasil menggagalkan lebih dari 150 tendangan pinalti di sepanjang karirnya karena kemampuan unik dan khasnya.

    Pada 1971 di Moskow, FIFA mengadakan Testimonial Match di Lenin Stadium dengan di hadiri 100.000 penonton dan bintang-bintang seperto Pele, Franz Beckenbeaur, dan Eusebio pada pertandingan perpisahan untuk menghormati prestasinya.

    Setelah pensiun dari sepakbola Yashin menghabiskan waktunya selama 20 tahun sebagai administrasi di klub Dynamo Moskow. Lev Yashin wafat akhirnya pada 1990 karena komplikasi masalah kesehatan.

    Penghargaan Yang Diterima Lev Yashin :

    Klub :
          Dynamo Moscow
    • Soviet Top League
      • Champions: 1954, 1955, 1957, 1959, 1963
      • Runners-up: 1950, 1956, 1958, 1962, 1967, 1970
    • Soviet Cup
      • Champions: 1953, 1967, 1970
      • Runners-up: 1955
          Dynamo Moscow ice hockey team
    • Soviet Cup champions: 1953
    Tim Nasional Soviet Union (CCCP)
    • FIFA World Cup
      • 4th Place: 1966 (England)
    • UEFA European Football Championship
      • Champions: 1960
      • Runner-up: 1964
    • Olympics Games
      • Gold Medal: 1956
    Individual
    • 1960: USSR Goalkeeper of the year
    • 1963: USSR Goalkeeper of the year
    • 1963: European Footballer of the Year
    • 1966: USSR Goalkeeper of the year
    • 1967: Order of Lenin
    • 1986: Olympic Order
    • 1988: FIFA Order of Merit
    • 2000: FIFA World Keeper of the Century
    • 2003: Golden Player of Russia

     

     (sumber : wikipedia)

    Berita Bola - Ferenc Puskas, The Legend Dari Hungaria

    ferenc puskas legenda sepakbola
    Berita Bola | Dinamika - Hungaria, salah satu negara di Eropa Timur pernah memiliki masa emas sepakbola di era 1950'an, dan salah satu legendanya adalah Ferenc Puskas.
    Ferenc Puskas lahir di Budapest tanggal 2 April 1927 dengan nama Ferenc Purczeld, dan dibesarkan di Kispest, sebuah daerah pinggiran. Caps untuk timnas Hungaria tercatat 85 kali dan membuat 84 gol, membuatnya menjadi sejarah sepanjang masa sepakbola Hungaria, terlebih selama dia membela Hungaria, timnya itu menjadi negara yang disegani di masanya.

    Karir Sepakbola
    Puskas mengawali karir sepakbolanya bersama klub local di Liga Hongaria, Kispest AC dimana  sang ayah, Farenc Sr yang menjadi pelatih dan pernah membela klub tersebut. Pada 1949 Kispest AC diambil alih oleh Kementrian Pertahanan Hongaria dan mengganti nama klub tersebut menjadi Bundapest Honved. Bersama Bundapest Honved Puskas mengahantarkan klub tersebut menjadi juara Liga Hongaria sebanyak 5 kali. Ia pun mencatatkan diri sebagai Top Skor selama empat musim di Liga Hongaria, bahkan pada tahun 1948 Ia menjadi pencetak gol terbanyak eropa dari seluruh Liga-liga eropa dengan 50 gol. Pada tahun 1956 Puskas membawa Bundapet Honved ikut pada tournament Eropean Cup. Pada pertandingan pertama mereka bertemu Atletico Bilbao. Pada pertandingan tandang di Bilbao Honved  kalah 3-2, ketika pertandingan kandang akan di gelar di Bundapest, Revolusi Hongaria meletus yang membuat pertandingan harus di gelar di tempat lain. Akhirnya pertandingan kedua melawan Atletic Bilbao di gelar di Heysel Stadium, Brussels, Belgia yang berakhir sama kuat 3-3. Secara agregat Honved kalah 6-5 dan harus tersingkir.
    ferenc puskas

    Legenda Unik Eropa dan  Real Madrid
    Setelah revolusi di negaranya, Hongaria pada 1956 Puskas menolak untuk kembali ke Budapest dan bersama beberapa rekan-rekannya seperti Czibor dan Koscis membawa beserta keluarganya bermigrasi dan mencari klub baru di Eropa Barat. Akibatnya penolakannya kembali ke Bundapest Puskas di kenakan larangan bemain selama dua tahun di Eropa oleh UEFA. Akibat larangan bermain tersebut,  AC Milan dan Juventus yang berniat membelinya membatalkan niatnya. 

    Setelah masa hukumannya Puskas berusaha untuk dapat bermain di Liga Italia, namun tidak ada klub yang tertarik mengingat usianya yang sudah menginjak usia 30an. Puskas pun sempat diisukan akan membela Manchester United, untuk menambal kekuatan tim yang ketika itu sedang compang-camping setelah tragedy jatuhnya pesawat di Munchen. Namun perarturan yang di tetapkan FA (Organisasi Sepakbola Inggris) yang mengharuskan pemain asing dapat menggunakan bahasa Inggris, membuat Puskas harus membuang mimpinya.


    Beberapa bulan kemudian Puskas mendapatkan klub barunya Real Madrid yang bertabur bintang dan dihuni beberapa legenda Real Madrid seperti Alfredo Di Stefano, Francisco Gento, Raymond Kopa, Hector Rial, dan Jose Santamaria. Pada saat itu Puskas telah menginjak usia 31 tahun (baca juga Berita Bola - Alfredo Di Stefano, Legenda Imigran Madrid ).

    Cara membuat gol yang unik dan lugas membuat Madrid tertarik merekrutnya. Di musim pertamanya bersama Real Madrid Puskas membuat empat kali Hatrick. Pada Musim 1960-61 Puskas mencetak 4 gol ketika melawan Elche FC dan membuat 5 gol di tahun berikutnya pada tim yang sama. Ketika melawan musuh bebuyutan Real Madrid, Barcelona. Puskas membuat dua kali Hatrick pada musim 1963, satu di Bernabeu  dan satu lagi di Camp Nou. Selama 8 musim membela Real Madrid Puskas mencetak 156 goal dari 180 laga La Liga (Liga Spanyol) dengan empat kali gelar El Pichichis (1960 dengan 26 goal, 1961 dengan 27 goal, 1963 dengan 26 goal dan 1964 dengan 20 goal). Ia pun membawa Real Madrid menjadi kampiun La Liga sebanyak 5 kali (1961-1965). Di ajang Eropean Champions Cup Puskas bermain di 39 laga dengan total 35 gol dan mengantarkan Real Madrid 3 kali juara (1959, 1960, 1966) dan dua kali Runner-Up (1962, 1964). Pada Final 1964 Madrid dikalahkan oleh Inter Milan yang saat itu diperkuat oleh Sandro Mazzola. Ia bahkan memberikan kostumnya pada sang legenda Inter Milan tersebut (baca juga Berita Bola - Sandro Mazzola, The Legend Dari Milan )

    Bersama Timnas
    Puskas memulai debutnya di timnas Hongaria pada 20 August 1945 dengan mengalahkan Austria 5-2. Pada 1952 Puskas membawa Hongaria menjuarai Olimpiade (baca juga Berita Bola - Lev Yashin, The Legend Dari Uni Soviet) cabang sepakbola dengan mengalahkan Yugoslavia 2-0 di partai Final yang di gelar di Helsinki, Swedia. 

    Pada tahun 1953 Puskas menjadikan Hongaria menjadi tim pertama di luar Negara-negara United Kingdom yang dapat mengalahkan timnas Inggris di Stadion Wembley, London. Pada Pertandingan Persahabatab tersebut yang dikenal dengan “Matches of The Century” dimana Hongaria menang dengan skor 6-3 atas Inggris. Pada pertemuan berikutnya melawan Inggris di Bundapest, Hongaria memukul Inggris dengan skor 7-1. Skor tersebut menjadi rekor kekalahan terbesar Inggris di ajang Internasional hingga kini. Pada dua pertandingannya melawan Inggris Puskas mencetak 2 gol. Banyak pengamat sepakbola pada masa itu mengatakan, dua pertandingan tersebut merupakan awal mula dari konsep permainan ”Total Football” yang 20 tahun kemudian dipopulerkan oleh Belanda.

    Pada pagelaran Piala Dunia 1954, Puskas ikut membela Hongaria dengan total mencetak 4 goal dari 3 pertandingan. Dua gol Ia cetak ketika mengalahkan Korea Selatan pada babak pertama dengan skor 9-0, kemudia satu gol Ia cetak ketika mengalahkan Jerman Barat dengan skor 8-3. Pada pertandingan berikut ketika Hongaria melawan Brazil dan Uruguay, Puskas tidak dapat tampil dikarnakan Cidera. Ketika timnas Hongaria menghadapi Brazil, pada pertandingan yang disebut "Bettle Of Berne", Puskas terlibat kontroversi dengan seorang pemain dari Brasil Peinhero.

    Pada pertandingan Final yang kembali mempertemukan Hongaria dengan Jerman Barat, Puskas membawa Hongaria unggul lebih dulu ketika pertandingan baru berjalan 6 menit, di tambah satu gol lagi dari rekannya, Czibor yang membuat Hongaria leading 2-0. Namun ketangguhan tim Jerman Barat perlahan namun pasti membawa mereka menyamakan kedudukan bahakan mengungguli dengan skor 3-2. Di menit-menit akhir pertandingan, suasana pertandingan menjadi semain ketat dan seru. Pada menit ke 87 Puskas mencetak gol yang akhirnya dianulir wasit yang menilai Puskas telah leih dahulu dalam keadaan Offside. Akhirnya rekor tidak terkalahkan Hongaria di patahkan oleh Jerman Barat dan Hongaria harus menerima hanya duduk sebagai Runner-Up.    


    Pada Piala Dunia 1958 Hungaria tidak ikut serta. Seandainya ikut serta, tentunya akan menjadi ajang para legenda sepakbola di mana saat itu selain mencuatnya nama Pele, juga muncul pula nama Just Fontaine dari Prancis sebagai predator yang menorehkan rekor pencetak gol terbanyak dalam satu Piala Dunia, yaitu 13 gol dalam 6 penampilan bersama Prancis kala itu (baca juga Berita Bola - Just Fontaine, Legenda Prancis Berdarah Campuran )

    Membela Timnas Spanyol 
    Pada tahun 1962 Puskas pertama kali bergabung membela timnas Spanyol. Total 4 pertandingan Ia jalani bersama timnas Spanyol 3 diantaranya pada ajang FIFA World Cup 1962. Namun tidak satu gol pun Ia cetak bersama timnas Spanyol.



    Pensiun
    Setelah  pensiun sebagai pemain pada 1967, Puskas beralih sebagai pelatih. Ketajaman dan pengalamannya selama bermain memiliki manfaat plus bagi Puskas untuk melatih.  Puskas melatih beberapa tim di Eropa, Amerika Utara, South America, Afrika, Asia, hingga Australia. Puncak karirnya sebagai pelatih Ia torehkan ketika membawa Pananthinaikos menjadi satu-satunya klub asal Yunani yang dapat menembus hingga babak Final Eropean Cup,  dimana timnya akhirnya dikalahkan 2-0 oleh AFC Ajax yang kala itu dibela oleh legenda sepakbola Belanda, Johan Cruijff.

    Perjalanan Akhir Sang Legenda
    Pada tahun 2006 Puskas didiagnosis megidap penyakit Alzheimer, Terakhir Puskas dirawat di Bundapest Hospital pada September 2006 dan kemudian meninggal pada tanggal 17 November 2006 pada usia 79 tahun. Ia meninggalkan seorang istri yang berusia 57 tahun, Erzsebet¸ dan seorang putri,  Aniko.  Jasadnya di semanyakan di Puskas Farenc Stadium (Stadion yang diubah nama menjadi namanya untuk menghormati jasa-jasanya). Lalu dibawa ke Heroes Square untuk acara penghormatan dan dimakamkan di St Stephen’s Basilika di Bundapest pada 9 December 2006.    
     

    Daftar Penghargaan yang ditorehkan Farenc Puskas :
    Klub
    • Budapest Honvéd,
      Hungarian League: 1949–50, 1950, 1952, 1954, 1955

    • Real Madrid,
      La Liga: 1960–61, 1961–62, 1962–63, 1963–64, 1964–65, Copa del Generalísimo: 1962, European Cup: 1959, 1960, 1966,
      Runners-up: 1962, 1964, Intercontinental Cup: 1960


    Tim Nasional Hungaria

    • Hungary : Olympic Champions: 1952, Central European Champions: 1953, World Cup Runners-up: 1954, Balkan Cup: 1947


    Individual

    • Central European International Cup: Top Scorer (10 Goals): 1954

    • Hungarian Top Goalscorer: 1947–48, 1949–50, 1950, 1953

    • World Soccer Player and European Player of the Year: 1953
    • European Player of the 20th century L'Equipe
    • Hungarian Player Hungarian of the 20th century[citation needed]
    • Hungarian Top Goalscorer of the 20th century
    • Silver Ball European Footballer of the Year France Football : 1960
    • Named in FIFA 100
    • European Cup Top Scorer (12 goals)(7 goals): 1960, 1964
    • Pichichi Trophy: 1959–60, 1960–61, 1962–63, 1963–64
    • Manager
    • Panathinaikos
    • Super League Greece: 1970–71, 1971–72
    • European Cup
    • Runners-Up: 1971
    • AEK Athens
    • Super League Greece: 1978–79
    • Sol de América
    • Paraguayan Primera División: 1986
    • South Melbourne Hellas
    • National Soccer League: 1990–91
    • NSL Cup: 1989–90
    • Dockerty Cup: 1989 and 1991  


    (sumber : wikipedia )